Senin, 13 Juni 2016

Aspek-aspek Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup dan Upaya Perfektif terhadap Pencemaran Limbah industri Tekstil Nasional

Pengelolaan Limbah Industri
Pencemaran lingkungan hidup akibat buangan limbah Industri, disadari atau tidak, sangat mengganggu kehidupan masyarakat dan dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup secara berkesinambungan. Keberadaan sektor industri dalam kurun waktu pembangunan nasional, bahkan hingga saat ini masih tetap dipandang sebagai salah satu sektor vital dalam konstelasi pembangunan ekonomi indonesia. Beberapa bentuk industri yang menjadi tumpuan pembangunan nasional, seperti industri primer (pertanian dan pertambangan), industri sekunder (manufaktur dan konstruksi) dan industri tertier (transportasi dan komunikasi). Kegiatan-kegiatan industri ini dapat berdampak luas pada lingkungan hidup.
Limbah dalam perspektif teoritis adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan atau proses produksi yang di hasilkan. Karakteristik limbah industri yang tidak di harapkan , bahkan mengganggu lingkungan hidup adalah bahan organik terlarut (yang menyebabkan timbulnya rasa/bau dan menurunkan kadar oksigen terlarut dalam air), bahan beracun (seperti sianida dan logam berat), warna dan kekeruhan, nutrein (nitrogen dan phospor), bahan terapung (seperti detergen), minyak/lemak, asam/basa, sulfida, padatan tersuspensi dan suhu yang tinggi. Berdasarkan karaktersistik limbah industri termasuk limbah industri tekstil yang mengandung bahan-bahan organik dan anorganik yang dapat mencemari lingkungan hidup, secara teoritis atau praktis upaya pengelolaan limbah industri semestinya lebih mendapat prioritas perhatian perusahaan-perusahaan industri dalam rutinitas kegiatan merealisasikan visi bisnisnya. Memanfaatkan secara optimal sumber daya internal yang tersedia pada perusahaan-perusahaan industri, seperti teknologi pengelolaan limbah, SDM dan keahliannya, dana atau biaya operasional pengelolaan, dan dukungan manajemen pada tingkat pengambilan keputusan adalah sebagai faktor penting dalam kegiatan pengelolaan limbah industri ini.
A.      Prinsip-prinsip Pengelolaan Limbah Industri
Pengelolaan limbah industri baik cair maupun padat dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, menyiratkan beberapa prinsip dasar acuan pengelolaan limbah industri tersebut, antara lain:
1.      Limbah industri tidak boleh terakumulasi dialam sehingga mengganggu siklus materi dan nutrien.
2.      Pembuangan limbah industri harus dibatasi pada tingkat yang tidak melebihi daya dukung lingkungan untuk menyerap pencemaran.
3.      Sistem tertutup penggunaan materi seperti daur ulang dan pengomposan harus dimaksimisasi.
Upaya pengelolaan limbah industri yang kontinou dan konsisten dilakukan untuk mencegah pencemarannya terhadap lingkungan hidup, bukan sebuah tuntutan yuridis semata dalam rangka penyelamatan dan perlindungan lingkungan hidup dari pencemaran atau kerusakan akibat aktivitas industri. Aspek internal pengelolaan limbah industri seperti modivikasi proses, daur ulang, jenis teknologi dan relokasi industri adalah berupa akumulasi upaya nyata internal industri mewujudkan kinerja pengelolaan limbah industrinya, misalnya merupakan langkah praktis untuk memperbaiki kelangsungan proses produksi terutama pada upaya menghindarkan penggunaan zat-zat kimia itu secara berlebihan sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan hidup. Menyadari kendala pengelolaan limbah industri tersebut, tidak berarti perusahaan-perusahaan industri mengabaikan faktor perlindungan lingkungan hidup dari ancaman dan pencemaran limbah industrinya.
B.      Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
Kegiatan pembangunan faktor industri di sadari bahwa pada satu pihak akan menghasilkan barang yang bermanfaat bagi kesejahtaraan hidup masyarakat, tetapi pada pihak lain sektor industri ini juga menghasilkan limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3). Dalam UUPLH disebutkan, bahwa bahan berbahaya dan beracun itu “ adalah setiap bahan yang karena sifat dan konsentrasinya, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.”
Upaya pengelolaan bahan-bahan kimia tergolong B3, baik yang dapat dipergunakan maupun yang terbatas dipergunakan pada prinsipnya adalah kegiatan-kegiatan rill dilapangan untuk mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bahan-bahan berbahaya dan beracun tersebut terhadap lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia, dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, salah satu bentuk pengelolaan seperti penyimpanan harus memenuhi persyaratan teknis yang ditentukan. Upaya mencegah masukknya bahan berbahaya dan beracun yang dilarang dipergunakan di Indonesia telah ditegaskan dalam PP Nomor 74 tahun 2001. Sesuai konvensi Stockholm tersebut, pemerintah Indonesia melarang penggunaan 10 jenis bahan kimia tergolong POPs seperti : Aldrin, Cnlordine, Dieldrin, Endrin, Heptachlor, Hezachlorobenzena, Mire, DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethana), Toxaphene dan PCE (Poly Chloronated Byphenyls Chlorosiphenyls).
C.       Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Kegiatan sektor industri itu di sadari bahwa cepat atau lambat akan menimbulkan dampak negatif terhadap tanah, air serta udara. Apalagi limbah industri yang dihasilkannya itu terkategori pula sebagai limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun atau disebut limbah B3, sangat potensial membahayakan kehidupan masyarakat dan mencemari lingkungan hidup. Limbah bahan berbahaya dan beracun tersebut menurup UUPLH “adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsenntrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. “ berdasarkan karakterktik dan jenis B3 menurut sumber tersebut, semestinya dipahami bahwa upaya pembuangan secara langsung kedalam lingkungan alam tanpa terlebih dahulu melakukan pengolahan untuk menghilangkan atau menurunkan sifat berbahaya dan racunnya sesuai ambang batas yang ditentukan, dapat menimbulkan bahaya terhadap lingkungan  hidup, kesehatan masyarakat dan mahluk hidup lainnya. Mengingat risiko dan rentannya limbah B3 tersebut, pemerintah berupaya optimal untuk menghilangkan risiko yang ditimbulkan oleh limbah B3 ini melalui kebijakan pengelolaan limbah B3.
Faktor kesadaran yang utuh dikalangan pengusaha industri mempunyai nilai penting dan mendasar dalam melakukan tindakan- tindakan riil. Pengelolaan limbah B3, meskipun fasilitas pendukungnya sangat terbatas seperti teknologi modern, SDM yang profesional dan biaya yang tersedia. Apabila tidak didukung oleh faktor kesadaran yang utuh ini dikhawatirkan rencana pengelolaan limbah B3 tidak teraktualisasi dengan baik dan optimal untuk memenuhi tuntutan aturan hukum. Akibatnya, pengelolaan limbah B3 yang pada hakikatnya bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup akibat limbah B3 seperti diamanatkan oleh PP Nomor 85 Tahun 1999 tersebut, secara sosiologis semakin terhambat jika tidak ada faktor kesadaran yang utuh dikalangan pengusaha industri untuk melakukan pengelolaan limbah B3-nya dengan konsisten dan kontinuitas dalam aktivitas ekonominya.

Pengelolaan Limbah Bahan berbahaya dan beracun atau B3 adalah salah satu rangkaian kegiatan yang mencakup penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengangkutan, dan pengolahan limbah B3 termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan pelaku pengelolaan limbah B3 yaitu penghasil limbah B3, pengumpul limbah B3, pengangkut limbah B3, pemanfaat limbah B3, pengolah serta penimbun.
Mayoritas pabrik tidak menyadari, bahwa limbah yang dihasilkan termasuk dalam kategori limbah B3, sehingga limbah dibuang begitu saja ke sistem perairan tanpa adanya proses pengolahan. Pada dasarnya prinsip pengolahan limbah adalah upaya untuk memisahkan zat pencemar dari cairan atau padatan. Walaupun volumenya kecil, konsentrasi zat pencemar yang telah dipisahkan itu sangat tinggi. Selama ini, zat pencemar yang sudah dipisahkan atau konsentrat belum tertangani dengan baik, sehingga terjadi akumulasi bahaya yang setiap saat mengancam kesehatan manusia dan keselamatan lingkungan hidup. Untuk itu  limbah B3 perlu dikelola antara lain melalui pengolahan limbah B3.

Upaya pengelolaan limbah B3 dapat dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
§  Reduksi limbah dengan mengoptimalkan penyimpanan bahan baku dalam proses kegiatan atau house keeping, substitusi bahan, modifikasi proses, maupun upaya reduksi lainnya.
§  Kegiatan pengemasan dilakukan dengan penyimbolan dan pelabelan yang menunjukkan karakteristik dan jenis limbah B3 berdasarkan acuan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : Kep-05/Bapedal/09/1995.
Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik, bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan limbah yang disimpan di dalamnya. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian atau dekomposisi saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per kemasan.
§  Penyimpanan dapat dilakukan di tempat yang sesuai dengan persyaratan yang berlaku acuan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-01l/Bapedal/09/1995.
Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel. Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi.
§  Pengumpulan dapat dilakukan dengan memenuhi persyaratan pada ketentuan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-­01/Bapedal/09/1995 yang menitikberatkan pada ketentuan tentang karakteristik limbah, fasilitas laboratorium, perlengkapan penanggulangan kecelakaan, maupun lokasi.
§  Kegiatan pengangkutan perlu dilengkapi dengan dokumen pengangkutan dan ketentuan teknis pengangkutan.
Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan pengangkutan limbah B3 hingga tahun 2002. Peraturan pengangkutan yang menjadi acuan adalah peraturan pengangkutan di Amerika Serikat. Peraturan tersebut terkait dengan hal pemberian label, analisa karakter limbah, pengemasan khusus, dan sebagainya. Persyaratan yang harus dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan dalam kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke lingkungan dalam jumlah yang berarti. Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup agar efektifitas kemasan tidak berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbakar harus dilengkapi dengan head shields pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas untuk mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute pengangkutan khusus selain juga adanya kewajiban kelengkapan Material Safety Data Sheets (MSDS) yang ada di setiap truk dan di dinas pemadam kebarakan.
§  Upaya pemanfaatan dapat dilakukan melalui kegiatan daur ulang (recycle), perolehan kembali (recovery) dan penggunaan kembali (reuse) limbah B3 yang dlihasilkan ataupun bentuk pemanfaatan lainnya.
§  Pengolahan limbah B3 dapat dilakukan dengan cara thermal, stabilisasi, solidifikasi secara fisika, kimia, maupun biologi dengan cara teknologi bersih atau ramah lingkungan.
§  Kegiatan penimbunan limbah B3 wajib memenuhi persyaratan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999.
Beberapa metode penanganan limbah B3 yang umum diterapkan adalah sebagai berikut:
§  Metode Pengolahan secara Kimia,
Pengolahan air buangan secara kimia biasanya dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor, dan zat organik beracun; dengan membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan tergantung jenis dan kadar limbahnya.
Proses pengolahan limbah B3 secara kimia yang umum dilakukan adalah stabilisasi/ solidifikasi. Stabilisasi/ solidifikasi adalah proses mengubah bentuk fisik dan/atau senyawa kimia dengan menambahkan bahan pengikat atau zat pereaksi tertentu untuk memperkecil/membatasi kelarutan, pergerakan, atau penyebaran daya racun limbah, sebelum dibuang. Definisi stabilisasi adalah proses pencampuran limbah dengan bahan tambahan dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Contoh bahan yang dapat digunakan untuk proses stabilisasi/solidifikasi adalah semen, kapur, dan bahan termoplastik.
Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.

Apabila konsentrasi logam berat di dalam air limbah cukup tinggi, maka logam dapat dipisahkan dari limbah dengan jalan pengendapan menjadi bentuk hidroksidanya. Hal ini dilakukan dengan larutan kapur (Ca(OH)2) atau natrium hidroksida (NaOH) dengan memperhatikan kondisi pH akhir dari larutan. Pengendapan optimal akan terjadi pada kondisi pH dimana hidroksida logam tersebut mempunyai nilai kelarutan minimum. Pengendapan bahan tersuspensi yang tak mudah larut dilakukan dengan membubuhkan elektrolit yang mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan koloidnya agar terjadi netralisasi muatan koloid tersebut, sehingga akhirnya dapat diendapkan. Penyisihan logam berat dan senyawa fosfor dilakukan dengan membubuhkan larutan alkali misalnya air kapur, sehingga terbentuk endapan hidroksida logam-logam tersebut atau endapan hidroksiapatit.  Endapan logam tersebut akan lebih stabil jika pH air > 10,5 dan untuk hidroksiapatit pada pH > 9,5.  Khusus untuk krom heksavalen, sebelum diendapkan sebagai krom hidroksida [Cr(OH)3], terlebih dahulu direduksi menjadi krom trivalent dengan membubuhkan reduktor (FeSO4, SO2, atau Na2S2O5).
Presipitasi adalah pengurangan bahan-bahan terlarut dengan cara menambahkan senyawa kimia tertentu yang larut dan dapat menyebabkan terbentuknya padatan. Dalam pengolahan air limbah, presipitasi digunakan untuk menghilangkan logam berat, sufat, fluoride, dan fosfat. Senyawa kimia yang biasa digunakan adalah lime, dikombinasikan dengan kalsium klorida, magnesium klorida, alumunium klorida, dan garam – garam besi. Adanya complexing agent, misalnya NTA (Nitrilo Triacetic Acid) atau EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid), menyebabkan presipitasi tidak dapat terjadi. Oleh karena itu, kedua senyawa tersebut harus dihancurkan sebelum proses presipitasi akhir dari seluruh aliran, dengan penambahan garam besi dan polimer khusus atau gugus sulfida yang memiliki karakteristik pengendapan yang baik. Pengendapan fosfat, terutama pada limbah domestik, dilakukan untuk mencegah eutrophicationdari permukaan. Presipitasi fosfat dari sewage dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu penambahan slaked lime, garam besi, atau garam alumunium.
Koagulasi dan Flokulasi digunakan untuk memisahkan padatan tersuspensi dari cairan jika kecepatan pengendapan secara alami padatan tersebut lambat atau tidak efisien. Proses koagulasi dan flokulasi adalah konversi dari polutan-polutan yang tersuspensi koloid yang sangat halus didalam air limbah, menjadi gumpalan-gumpalan yang dapat diendapkan, disaring, atau diapungkan.
Beberapa kelebihan proses pengolahan kimia antara lain dapat menangani hampir seluruh polutan anorganik, tidak terpengaruh oleh polutan yang beracun atau toksik, dan tidak tergantung pada perubahan konsentrasi. Pengolahan kimia dapat meningkatkan jumlah garam pada effluent, meningkatkan jumlah lumpur sehingga memerlukan bahan kimia tambahan akibatnya biaya pengolahan menjadi mahal.
§  Metode Pengolahan secara Fisik
Sebelum dilakukan pengolahan lanjutan terhadap air buangan, dilakukan penyisihan terhadap bahan-bahan tersuspensi berukuran besar dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan yang terapung. Penyaringan atau screening merupakan cara yang efisien dan murah untuk menyisihkan bahan tersuspensi yang berukuran besar. Bahan tersuspensi yang mudah mengendap dapat disisihkan secara mudah dengan proses pengendapan.  Parameter desain yang utama untuk proses pengendapan ini adalah kecepatan mengendap partikel dan waktu detensi hidrolis di dalam bak pengendap.
Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung seperti minyak dan lemak agar tidak mengganggu proses pengolahan berikutnya. Flotasi juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau pemekatan lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas (air flotation).
Proses filtrasi di dalam pengolahan air buangan, biasanya dilakukan untuk mendahului proses adsorbsi atau proses reverse osmosis-nya, akan dilaksanakan untuk menyisihkan sebanyak mungkin partikel tersuspensi dari dalam air agar tidak mengganggu proses adsorbsi atau menyumbat membran yang dipergunakan dalam proses osmosa.
Proses adsorbsi, biasanya dengan karbon aktif, dilakukan untuk menyisihkan senyawa aromatik misalnya fenol dan senyawa organik terlarut lainnya, terutama jika diinginkan untuk menggunakan kembali air buangan tersebut.
Teknologi membran (reverse osmosis) biasanya diaplikasikan untuk unit-unit pengolahan kecil, terutama jika pengolahan ditujukan untuk menggunakan kembali air yang diolah. Biaya instalasi dan operasinya sangat mahal.
Evaporasi pada umumnya dilakukan untuk menguapkan pelarut yang tercampur dalam limbah, sehingga pelarut terpisah dan dapat diisolasi kembali. Evaporasi didasarkan pada sifat pelarut yang memiliki titik didih yang berbeda dengan senyawa lainnya.
Metode insinerasi atau pembakaran dapat diterapkan untuk memperkecil volume limbah B3. Namun saat melakukan pembakaran perlu dilakukan pengendalian agar gas beracun hasil pembakaran tidak mencemari udara. Pengolahan secara insinerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3. Insinerator adalah alat untuk membakar sampah padat, terutama untuk mengolah limbah B3 yang perlu syarat teknis pengolahan dan hasil olahan yang sangat ketat. Ukuran, desain dan spesifikasi insinerator yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik dan jumlah limbah yang akan diolah. Insinerator dilengkapi dengan alat pencegah pencemar udara untuk memenuhi standar emisi.
Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini bukan solusi terakhir dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas.
Kelebihan metode pembakaran adalah metode ini merupakan metode hemat uang di bidang transportasi dan tidak menghasilkan jejak karbon yang dihasilkan transport seperti pembuangan darat. Menghilangkan 10% dari jumlah limbah cukup banyak membantu mengurangi beban tekanan pada tanah. Rencana pembakaran waste-to-energy (WTE) juga memberikan keuntungan yang besar dimana limbah normal maupun limbah B3 yang dibakar mampu menghasilkan listrik yang dapat berkontribusi pada penghematan ongkos. Pembakaran 250 ton limbah per hari dapat memproduksi 6.5 megawatt listrik sehari (berharga $3 juta per tahun).
Kerugian metode pembakaran adalah adanya biaya tambahan dalam pembangunan instalasi pembakaran limbah. Selain itu pembakaran limbah juga menghasilkan emisi gas yang memberikan efek rumah kaca.
Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi atau heating value limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kilnmultiple hearthfluidized bedopen pitsingle chambermultiple chamberaqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.
§  Metode Pengolahan secara Biologi
Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang berkembang dewasa saat ini dikenal dengan istilah bioremediasi dan fitoremediasi. Bioremediasi adalah penggunaan bakteri dan mikroorganisme lain untuk mendegradasi/ mengurai limbah B3. Sedangkan fitoremediasi adalah penggunaan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan mengakumulasi bahan-bahan beracun dari tanah. Kedua proses ini sangat bermanfaat dalam mengatasi pencemaran oleh limbah B3 dan biaya yang diperlukan lebih murah dibandingkan metode kimia atau fisik. Namun, proses ini juga masih memiliki kelemahan. Proses bioremediasi dan fitoremediasi merupakan proses alami sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama untuk membersihkan limbah B3, terutama dalam skala besar. Selain itu, karena menggunakan makhluk hidup, proses ini dikhawatirkan dapat membawa senyawa-senyawa beracun ke dalam rantai makanan di dalam ekosistem.
Metode Pembuangan Limbah B3
§  Sumur dalam atau sumur injeksi (deep well injection)
Salah satu cara membuang limbah B3 agar tidak membahayakan manusia adalah dengan memompakan limbah tersebut melalui pipa ke lapisan batuan yang dalam, di bawah lapisan-lapisan air tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara teori, limbah B3 ini akan terperangkap di lapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah maupun air.
Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan pengkajian yang integral terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan antara tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.
Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.
§  Kolam penyimpanan atau Surface Impoundments
Limbah B3 cair dapat ditampung pada kolam-kolam yang diperuntukkan khusus bagi limbah B3. Kolam-kolam ini dilapisi lapisan pelindung yang dapat mencegah perembesan limbah. Ketika air limbah menguap, senyawa B3 akan terkonsentrasi dan mengendap di dasar. Kelemahan metode ini adalah memakan lahan karena limbah akan semakin tertimbun dalam kolam, ada kemungkinan kebocoran lapisan pelindung, dan ikut menguapnya senyawa B3 bersama air limbah sehingga mencemari udara.
§  Landfill untuk limbah B3 atau Secure Landfills
Limbah B3 dapat ditimbun pada landfill, namun harus dengan pengamanan tingkat tinggi. Pada metode pembuangan secure landfill, limbah B3 dimasukkan kedalam drum atau tong-tong, kemudian dikubur dalamlandfill yang didesain khusus untuk mencegah pencemaran limbah B3. Landfill harus dilengkapi peralatan monitoring yang lengkap untuk mengontrol kondisi limbah B3 dan harus selalu dipantau. Metode ini jika diterapkan dengan benar dapat menjadi cara penanganan limbah B3 yang efektif. Metode secure landfillmerupakan metode yang memiliki biaya operasi tinggi, masih ada kemungkinan terjadi kebocoran, dan tidak memberikan solusi jangka panjang karena limbah akan semakin menumpuk.

analisis:
menurut penjabaran di atas diketetahui bahwa limbah industri adalah bahan yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan juga kelestarian lingkungan sekitar. cara-cara penanggulangan limbah industri B3 yang dilakukan oleh pemerintah diantaranya dengan menggunakan beberapa metode yaitu metode pengolahan secara kimia, metode pengolahan secara biologi, dan pembuatan limbah B3, seharusnya langkah ini didukung oleh masyarakat terutama para pelaku industri.